Oleh: Bajuri Suhendar
PENDAHULUAN
Kalimantan Selatan merupakan salah satu provinsi Indonesia yang berada di pulau Kalimantan bagian selatan atau yang biasa disebut orang Barat dengan pulau Borneo. Dengan ibukota Banjarmasin, Kalimantan Selatan sendiri terdapat banyak suku yang tinggal di daerah tersebut, sedangkan suku asli yang mendiami wilayah Banjarmasin dan sekitarnya disebut dengan orang Banjar.
Kata “Banjar” berasal dari kata Bandarmasih, yang berarti kampung Pendukuhan. Suku bangsa Banjar “berintikan pecahan suku bangsa melayu sekitar lebih seribu tahun lalu yang berimigrasi besar-besaran ke kawasan ini, dari Sumatera atau sekitarnya” Daud (1997:25-26). Suku Banjar muncul ketika imigran-imigran Melayu yang datang ke pulau Kalimantan kemudian mendesak orang orang Dayak Bukit hingga ke pegunungan Meratus. Imigran-imigran Melayu yang datang belakangan ini diidentifikasi sebagai kelompok Bukit, Maanyan, Ngaju yang kemudian melebur ke dalam satu kelompok, yang pada akhirnya memunculkan satu suku baru, yaitu Suku Bangsa Banjar.
Suku Dayak Bukit atau orang Meratus yang mendiami wilayah pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran melayu yang datang ke Kalimantan pada gelombang pertama. Kedatangan orang-orang atau para imigran ke pulau Kalimantan diketahui tidak dalam waktu yang sekaligus atau bersamaan, melainkan datang secara berahap yang terbagi ke dalam beberapa gelombang. Orang Meratus “mendiami pegunungan Meratus yang memanjang dari selatan sampai ke utara kawasan tengah provinsi Kalimantan Selatan merupakan peladang berpindah yang handal” (Rafieq dan Saderi).
Dalam makalah ini, penulis berusaha menjelaskan mengenai perbedaaan ritual menanam padi yang dilakukan masyarakat Banjar dengan masyarakat Meratus yang sama-sama mendiami wilayah Kalimantan Selatan.
Kegiatan Ritual Menanam Padi Masyarakat Banjar
Ritual menanam padi pada masyarakat Banjar dilakukan dengan tujuan kegiatan menanam padi atau dalam pertanian mereka akan membuahkan hasil yang diharapkan atau terhindar dari hal-ha yang berbahaya. Secara umum (Daud, 1997:438), pertanian padi melalui proses-proses yaitu:
1. Penyemaian bibit dengan berbagai teknik,
2. Penanaman sementara anak padi.
3. Penanaman terakhir,
4. Pemanenan dan kegiatan sesudahnya.
Ketika bibit-bibit padi akan disemai “dirabun”, yaitu diasapi di atas api perapen dengan asap menyan sambil mengucapkan “kur sumangat” berkali-kali, kemudian ketika padi dimasukkan ke dalam air dibacakan Surah Fatihah satu kali dan shalawat tiga kali. Teknik menyemai dengan manaradak yaitu setiap kali memasukkan bibit-bibit padi ke dalam lubang tugal dipesankan kepada semangat bibit padi yang sedang dipelas untuk berlayar agar selama dalam perjalanan tidak bersinggah-singgah. Hal tersebut terus dilakukan sampai kepada lubang atau yang biasa disebut dengan umang yang ketujuh. Ketika akan memulai manaradak, biasanya diadakan selamatan dengan menyiapkan kokoleh dan kemudian dibacakan doa selamat.
Kegiatan menanam padi dilakukan sejak menanam anak padi yang terakhir di sawah. Kegiatan bamula yaitu memulai menanam padi dimulai dengan mengadakan selamatan dengan menyiapkan kokoleh yang kemudian dimakan bersama-sama di tengah sawah. Ketika akan menanami lubang pertama, terlebih dahulu membaca syahadat, bamamang, membaca Ayat Kursi. Hal tersebut terus dilakukan hingga lubang yang terakhir, yaitu lubang yang di tengah. Setelah kegiatan ini selesai dilakukan, barulah kokoleh dihidangkan dan dimakan bersama-sama. Selanjutnya kegiatan menanam sawah dilakukan sampai selesai. Hari yang dipilih untuk kegiatan bamula ini adalah hari minggu atau rabu, sedangkan hari yang dihindari adalah hari selasa dan sabtu. Apabila padi mulai berbunga atau maurai, petani akan mengelilingi sawah sambil memercikkan minyak likat boboreh yang dicampur dengan kembang melati, kemudian dilanjutkan melaksanakan selamatan di rumah dengan menghidangkan bubur baayak.
Sebelum padi diketam, dilakukan pula upacara bamula, yaitu dengan meminta bantuan orang yang dipandang “ahli” yang dilaksanakan pada sore hari. Upacara bamula dimulai dengan berdiri ditengah-tengah sawah dan mengucapkan mamangan ditengah asap upat (suluh yang terbuat dari kulit bunga kelapa yang sudah kering dan dipilah-pilah). Isi dari mamangan sendiri adalah member salam kepada semangat padi dan membujuknya agar berkumpul. Setelah meletakkan upat dipinggir sawah, pelaksana upacara berkeliling sambil menepung tawari (sambil mengucapkan shalawat dengan suara nyaring) rumpun-rumpun padi dengan minyak likat boboreh yang dicampur dengan parutan kencur. Upat dibiarkan menjadi api unggun di salah satu sudut dan dibuat lagi tiga api unggun pada ketiga sudut lain sebelum meninggalkan sawah yang terbuat dari sabut kelapa (Daud, 1997).
Besok paginya dilakukan persiapan penyambutan padi “laki bini” yang akan diketam pada waktu bamula, dengan menyiapkan sebuah talam yang dilapis dengan kain yang bagus, berisi sebuah cermin, celak mata, bedak, minyak kelapa, menyan, peralatan tepung tawar, daun ribu-ribu, dan daun jibung-jibung. Ketika memulai menuai padi yaitu padi yang pertama kali dituai adalah padi “laki bini” yang kemudian disusul dengan tangkai padi yang lain sampai berjumlah tujuh tangkai sambil membaca syahadat dan Ayat Kursi. Sebagian petani akan melakukan panen secara besar-besaran pada hari keempat setelah upacara tersebut.
Setelah diketam, sebagian padi kemudian diolah menjadi bubur yang akan dihidangkan ketika acara selamatan “mahanyari banih”. Jika padi sudah rapi di dalam lumbung yang terletak di salah satu sudut rumah, diadakan upacara menepung tawari padi tersebut (Daud, 1997:445).
Kegiatan Ritual Menanam Padi Masyarakat Meratus
Balai Malaris |
Sistem bercocok tanam berupa perladangan berpindah dan menanam padi bagi Orang Bukit dipercayai lebih utama dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan pekerjaan lainnya, seperti berkebun karet dan kayu manis, atau meramu hasil hutan. Berladang menanam padi (bahuma) diyakini sebagai pekerjaan Orang Langit, sebaliknya pekerjaan lain tersebut sebagai pekerjaan Orang Bumi. Bersawah dan berkebun adalah pekerjaan-pekerjaan yang bukan berasal dari adat nenek moyang. Karena itu, tidaklah melanggar adat bila pekerjaan itu tidak dilakukan (Radam, 2001:322-323).
![]() |
Ladang Orang Meratus |
Menurut orang Meratus, padi adalah tanaman suci yang turun dari surga yang dibawa Nabi Adam dan Siti Hawa. Dalam memulai waktu bercocok tanam, orang Meratus berpedoman pada bintang yang biasa disebut dengan “bintang karantika” yang dianggap sebagai jelmaan dari anak Nabi Adam. Tahap perladangan orang Meratus sendiri dimulai dengan mencari lahan di hutan yang cocok untuk ditanami dengan melihat tingkat kesuburan tanah dari hitamnya warna tanah tersebut atau tanah yang babarkat. Setelah ditemukan lahan yang sesuai, dilakukan upacara puja puji bagi Pidara Datu Nini (arwah nenek moyang), penguasa hutan, atau roh dan kekuatan lainnya yang ada pada calon ladang yang dipimpin oleh tetuha bubuhan (yang biasanya merangkap balian).
![]() |
Balai Malaris Tampak Dari Depan |
Upacara selanjutnya adalah Memuja Tampa, yaitu upacara untuk membuat atau mempertajam kembali peralatan pertanian utama, yaitu parang dan belaying yang akan digunakan dalam bercocok tanam. Si pandai besi mengucapkan puja-puja bagi Pidara Datu Nini atau arwah nenek moyang mereka. Sebelum melakukan penebangan pohon di lahan yang akan ditanami, orang Meratus melaksanakan upacara batilah, agar tidak membawa mudarat bagi petani atau umbun yang bersangkutan. Ritual dilanjutkan dengan Katuan atau Merendahkan Balai Diyang Sanyawa, yaitu upacara di bawah pohon yang terbesar dan yang tertinggi yang tumbuh di lahan yang akan ditanami yang dianggap sebagai pohon tertua dan sebagai tempat tinggal roh yang menguasai kawasan itu. Upacara ini dilakukan untuk mohon ijin atau ‘mengusir’ secara baik-baik roh atau penguasa setempat karena tempat itu akan dibuat ladang.Umbun kemudian mulai manambas semak yang ada di ladang dan mulai menebang pohon. Setelah pohon-pohon yang ada di ladang ditebang, kemudian malaring, yaitu mengeringkan sisa batang pohon dan upacara ini sekaligus menandai berakhirnya persiapan ladang yang akan ditanami.
Bamula, merupakan upacara memulai penanaman padi setelah daun-daun dan ranting sudah dibakar habis dan sudah dibersihkan. Semua anggota umbun dan kerabat dekat menghadiri upacara ini dengan berpakaian lebih bagus dari hari-hari biasa seperti halnya jika akan menghadiri upacara perkawinan. Penanaman padi bagi Orang Bukit juga digambarkan sebagai “mengantar diyang berlayar” atau “mengantar diyang mencari jodoh”. Usai upacara, dilanjutkan dengan penanaman padi ke seluruh ladang. Setelah padi ditanam, yaitu pada saat padi mulai bunting, ritual yang dilakukan adalah basambu umang. Upacara menyembuhkan atau merawat padi, agar padi tumbuh subur, baik, dan berisi.
Ritual dilanjutkan dengan Manyindat Padi, yaitu upacara mengikat rumpun dan tangkai padi sebagai tanda awal menuai padi. Upacara ini bermakna persiapan menjemput diyang. Pengikatan tersebut berfungsi untuk melindungi padi yang sedang masak berisi dari gangguan hantu angin dan hantu tanah. Bentuk ikatan itu diyakini dapat memperdaya dan menghalau Raja Orang Halus atau Anggau, sehingga padi tidak kehilangan harakat. Setelah padi mulai berat berisi, dilakukan upacara Manatapakan Tihang Babuah atau menegakkan tiang buah. Hal ini dilakukan agar padi tidak roboh karena berat. Dalam rangka upacara ini terdapat 5-7 hari masa berpantang yang biasanya diisi dengan membuat bakul pengangkut padi dan memperbaiki atau membuat lumbung.
Bawanang merupakan Upacara memperoleh atau mencapai kawanangan (kebebasan dari pantangan atau pemali) padi yang baru dituai. Padi yang belum wanang belum boleh untuk diolah menurut. Hanya padi yang sudah wanang yang boleh ditumbuk menjadi beras, ditanak atau ditukar dengan benda keperluan hidup lainnya. Upacara kemudian dilanjutkan dengan Mamisit Padi, yaitu upacara memasukkan atau mempersatukan padi yang telah wanang ke dalam lumbung. Dalam bahasa ritualnya kegiatan itu dinamakan “menaikkan diyang ke dalam balai peristirahatan”. Setelah musim panen raya tiba, masyarakat Meratus mengadakan acara yang dinamakan Aruh Ganal, sebagai upacara syukuran atas hasil panen yang melimpah dan menjauhkan mereka dari bencana gagal panen. Melalui ritual inilah, mereka juga memohon kepada Sang Pencipta agar di musim tanam berikutnya, tanaman mereka terhindar dari hama penyakit dan memperoleh hasil panen yang melimpah.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas mengenai kegiatan ritual orang Banjar dan orang Meratus, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum terdapat kesamaan antara cara menanam padi yang dilakukan masyarakat banjar dengan cara menanam padi yang dilakukan masyarakat Meratus, dimulai dari penyemaian bibit sampai dengan panen. Begitu pula ritual-ritual yang dilaksanakan dalam bercocok tanam yang sama-sama meminta kepada yang Maha Kuasa agar diberikan hasil panen yang melimpah dan terhindar dari mara bahaya. Persamaan lain adalah bahwa masyarakat Banjar dan Orang Meratus sama-sama menganggap padi adalah sebagi tanaman yang suci dan sakral. Letak perbedaan ritual menanam padi antara masyarakat Banjar dengan Orang Meratus terletak pada isi ritualnya. Masyarakat Banjar melakukan ritual dengan sentuhan-sentuhan Islam seperti pembacaan Surah Fatihah, sedangkan orang Meratus melakukan ritual sesuai dengan adat para leluhur mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Daud, Alfani, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Koenjaraningrat, 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
LK3 Banjarmasin, 2006. “Konflik dan Adat Badamai”. Jurnal Kebudayaan KANDIL Melintas Tradisi, Edisi 13.
Narwoko, J Dwi & Bagong Suyanto, 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.
Radam, Noerid Haloei, 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta.
Riwut, Tjilik, 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta:
PT.Tiara Wacana.
PT.Tiara Wacana.
Saderi, Danu Ismadi, Achmad Rafieq, 2008. “ Perubahan dalam Sistem Hidup Orang tamburasak Desa haruyan Dayak kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan”. Makalah pada Intrnational Symposium of Jurnal Antropologi 2008, Banjarmasin.
(www.wikipedia.org, diakses Juni 2011).
(http://bubuhanbanjar.wordpress.com, diakses Juni 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar