Total Tayangan Halaman

Selasa, 28 Juni 2011

Konstruksi Hukum Adat di Kampung Naga

        Letak dan Perhubungan
Tugu Kujang
Kampung Naga adalah salah satu kampung yang ada di Tasikmalaya yang masih memegang teguh adat-istiadatnya, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung Naga adalah sebuah kampung kecil yang luasnya sekitar 1,5 Ha berada di lembah yang di kelilingi tebing-tebing. Kampung Naga sendiri memiliki batas-batas yaitu: sebelah timur berbatasan dengan Leuweng Biuk dan sungai Ciwulan, sebelah barat berbatasan dengan Leuweng Larangan, sebelah selatan berbatasan dengan sawah, dan si sebelah utara berbatasan dengan sungai Ciwulan.
Sunda;sengked
Untuk dapat sampai ke Kampung Naga dapat dilakukan dengan transportasi darat, jarak dari Bandung ke Kampung Naga memakan waktu sekitar 3 jam, sedangkan dari Tasikmalaya hanya sekitar 30 kilometer. Perjalanan dari tempat parkir kendaraan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni anak tangga atau dalam bahasa setempat (Sunda;sengked) sepanjang kurang lebih 500 meter dengan kemiringan 45 derajat yang kemudian menyusuri jalan setapak sepanjang sungai Ciwulan. Selama perjalanan menuruni anak tangga, terhampar pemandangan persawahan dan rimbunnya pepohonan yang masih sangat asri.

Saat memasuki ke Kampung Naga, pengunjung akan melihat sebuah halaman yang cukup luas yang biasanya pada waktu panen digunakan sebagai tempat menjemur padi. Di depan halaman tersebut terdapat sebuah masjid dan balai pertemuan, kemudian pada sisi kiri dan kanannya terdapat rumah-rumah penduduk Kampung Naga.
Bangunan rumah di kampung Naga sendiri sama dan memiliki bentuk yang sangat khas dan memiliki model panggung. Atap bangunan terbuat dari dua lapis, yaitu lapis pertama berasal dari daun alang-alang dan lapis kedua atau lapisan terluar terbuat dari ijuk yang berwarna hitam. Lapisan ini dapat bermanfaat dalam penyerapan hawa panas ataupun dingin, selain menyerap asap kompor saat memasak. Sedangkan dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang dicat berwarna putih, pemilihan warna putih ini lebih dikarenakan agar dapat menyerap sinar matahari dan membuat suhu di dalam rumah menjadi lebih sejuk meskipun tanpa kipas anging dan AC. Semua bangunan rumah yang ada di Kampung Naga tersusun dengan sangat rapi, yaitu dengan pola menghadap ke arah utara dan selatan.
         Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat di Kampung Naga adalah bertani, hal ini dapat dilihat disekitar kampung Naga banyak dijumpai hamparan persawahan. Panen di kampung Naga sendiri dilaksanakan setahun 2 kali. Selain bertani, mereka juga membuat kerajinan yang akan dijual kepada para pengunjung, dan beternak kambing.
Sebagai penduduk yang mayoritasnya bekerja sebagai petani, cara-cara penggunaan dan pengelolaannya pun masih dilakukan dengan cara-cara yang tradisional pula. Seperti penggunaan pupuk, warga di Kampung Naga lebih suka memakai pupuk kandang dari kotoran sapi maupun kambing yang mereka pelihara daripada menggunakan pupuk urea maupun pupuk yang mengandung bahan kimia lain. Penggunaan pupuk yang mengandung bahan kimia dikhawatirkan akan merusak produktivitas tanah dan mereka tidak menyesal walaupun dengan menggunakan pupuk kandang panen hanya terjadi dua kali dalam setahun. Demikian juga dalam hal pembajakan sawah, mereka lebih suka menggunakan kerbau untuk membajak sawah daripada menggunakan traktor meskipun memakan waktu dan tenaga yang agak lebih lama. Meskipun masih menggunakan cara-cara yang tradisional dalam pengerjaannya, tetapi padi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat bagus dan hal ini juga sebagai penunjukkan rasa hormat warga kampung Naga kepada alamnya.
Selain bekerja sebagai petani, warga di kampung Naga juga ada beberapa yang pergi merantau ke kota untuk bekerja seperti ke Jakarta. Mereka biasanya akan kembali ke kampung Naga setelah merantau beberapa tahun atau ketika perayaan hari-hari besar di kampung Naga seperti Hari Raya Idul Fitri dan Upacara Hajat Sasih. 

         Kepemimpinan Kepala Desa
Di kampung Naga sendiri memiliki dua kepemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal berdasarkan pemilihan rakyat dan disahkan oleh pemerintah yaitu ketua RT dan ketua RW.  Sedangkan kepemimpinan informal yaitu kepala adat atau yang biasa disebut dengan “kuncen” yang bertugas sebagai pemangku adat dan pemimpin upacara-upacara adat. Kuncen adalah seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas dan dipandang sebagai pengemban amanat leluhur kampung Naga sehingga perkataan dan nasihatnya selalu dipatuhi oleh warga kampung. Saat ini kuncen kampung Naga dijabat oleh Bapak Ade Suherlin. Dibawah kuncen, ada para pejabat adat yang membantu kuncen dalam menjalankan tugasnya, yaitu “Punduh” yang dijabat oleh Bapak Ma’mun yang mengurus dan menjadi pengayom segala kegiatan kegiatan kemasyarakatan dan ”Lebeh” yang dijabat oleh Bapak Ateng yang bertugas dalam masalah keagamaan seperti mengurus jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat Islam.
Dua kepemimpinan yang ada di Kampung Naga ini saling berhubungan dan saling melengkapi.  Di satu sisi ketua RT dan RW mengurus dan mengatur sistem pemerintahan seperti birokrasi publik, dan yang lainnya yang harus dipatuhi oleh seluruh warga, tanpa terkecuali Kuncen. Dan di sisi lain seluruh warga kampung Naga termasuk pejabat pemerintahan dalam hal ini ketua RT dan RW juga harus patuh pada hukum adat dan peraturan-peraturan yang telah dijalankan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga sendiri, pemimpin menduduki posisi yang penting, oleh karena ia dianggap orang serba tahu dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat adat. Sehingga segala tindak-tanduknya merupakan pola aturan patut diteladani oleh masyarakat. Mengingat kedudukan yang penting itulah pemimpin adat senantiasa dituntut berpartisipasi dalam pembinaan kesadaran hukum masyarakat adat.

 
        Aturan-Aturan Yang Diatur Oleh Hukum Adat di Kampung Naga
Jalan diantara rumah penduduk
Peraturan-peraturan adat yang berlaku di kampung Naga meliputi segala aspek kehidupan masyarakatnya dari “A” sampai “Z”, mulai dari cara membangun rumah, tata cara perkawinan, dan masih banyak lagi peraturan adat yang ada di kampung Naga dari hal-hal yang kecil sampai kepada hal yang besar. Hal-hal yang kecil dapat dicontohkan sebagai berikut:
1.      “ Temenang Diuk Dina Bangbaru”
Artinya: Anak gadis tidak boleh duduk di depan pintu.
2.      “ Ngahocat, Suit-suitan”
Artinya : bersiul.
3.      “ Cimalati, Curung Cinantang ”
Artinya : air terjun angker, yang dihuni makhluk halus.
4.      “ Temenang Ngelonjor Kakulon "
Artinya : tidak boleh duduk berselonjor kearah kiblat (barat).
5.      “ Leweng Karamat “
Artinya : Jiarah ke makam pada hari selasa, rabu, dan sabtu.
6.      “ Leweng Ketupan “
Artinya : berkunjung ke hutan lindung.
7.      “ Bumi Ageng “
Artinya : tempat upacara adat.
8.      “ Pego dan tabu tentang asal usul kampung”
Artinya : bisu sementara menjelaskan tentang asal usul kampung pada hari selasa, rabu, dan sabtu.
9.      “ Sawen “
Artinya : Tolak Bala
10.  “ Ngadu, Ngahadon, Mabokan “
Artinya : adu domba, main perempuan, dan narkoba.

Untuk hal yang besar seperti upacara adat, seperti tradisi MENYEPI, yaitu usaha menghindari pembicaraan hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat yang biasanya dilaksanakan pada hari selasa, rabu, dan sabtu. UPACARA HAJAT SASIH, merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam leluhur yang dilaksanakan oleh seluruh warga kampung Naga baik yang tinggal di dalam kampung maupun yang berada diluar kampung Naga itu sendiri. Upacara Hajat Sasih dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari besar Islam seperti hari Raya Idul Fitri. Warga kampung Naga juga dilarang untuk menebang pohon atau merusak hutan yang ada di sekitar kampung Naga, karena hutan disekitar kampung Naga tersebut dianggap sebagai hutan keramat yang tidak boleh diganggu keberadaannya, walaupun hanya mematah ranting apalagi sampai menebangnya. Selain itu warga dan pendatang juga dilarang untuk mandi di dua buah air terjun yang di anggap sebagai tempat keramat karena biasanya air terjun tersebut kadang digunakan sebagai tempat bersemedi atau dimana di yakini oleh warga kampung naga sebagai air terjun yang memiliki fungsi untuk menyembuhkan penyakit namun air tersebut tidak boleh diambil warga secara sembarangan hanya apabila warga tersebut mendapatkan mimpi bahwa cara penyembuhannya dengan mengambil air dari salah satu air terjun tersebutbarulah di perbolehkan itupun harus meminta izin terlebih dahulu kepada kepala adat atau juru kuncinya serta ada hal yang harus di patuhi pada saat mengambil air terjun tersebut yakni hanya sebelah kaki yang harus menginjaknya dan harus memakai kaki sebelah kanan.
 
        Pelaksanaan Hukum Adat di Kampung Naga
Dalam pelaksanaan hukum adat pada masyarakat Kampung Naga, mereka sangat mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan. Ketaatan mereka tersebut sangat kuat dan patuh, yang dapat dilihat dari pelaksanaan kehidupan sehari-hari di lingkungan mereka yang masih menerapkan tabu atau pamali. Hanya dengan kata “PAMALI” masyarakat kampung Naga dapat hidup dengan nilai-nilai tradisional dan terjaga kelestarian lingkungannya. Pamali merupakan tradisi lisan dari masyarakat Sunda, yaitu berhubungan dengan hal-hal yang tabu atau hal yang tidak baik untuk dilakukan. Larangan-larangan yang ada di kampung Naga berasal dari  aturan-aturan nenek moyang mereka terdahulu. Aturan-aturan yang ada di kampung Naga sendiri hanya disampaikan secara lisan kepada warganya, tidak ada aturan adat yang dibukukan atau dikumpulkan secara tertulis, dan hal ini disampaikan secara turun-temurun. Seorang anak di kampung Naga sejak kecil sudah diajari mengenai hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan, sehingga sejak kecil mereka sudah tertanam nilai-nilai luhur dari nenek moyang mereka sehingga hal tersebut dapat bertahan sampai sekarang. Meskipun tidak ada peraturan secara tertulis, tetapi bagi warga di kampung Naga mentaati peraturan-peraturan tersebut adalah suatu keharusan dan menganggap bahwa peraturan tersebut adalah sesuatu yang sakral dan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Pelaksanaan aturan pamali tersebut dimulai oleh tokoh masyarakat dalam membina warganya dengan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari, dan memberikan sanksi  kepada anggota masyarakat secara bertahap. Tokoh masyarakat yang dimaksud adalah berawal dari pemimpin Kampung Naga yang dipilih melalui ketentuan adat yaitu kuncen. Sebagai seorang yang dituakan perkataan kuncen sangat didengar dan dipatuhi oleh masyarakat Kampung Naga. Kuncen memiliki hak khusus dalam menerima tamu dan member petunjuk-petunjuk khusus dalam kehidupan adat-istiadat di Kampung Naga.
Kepatuhan masyarakat pada kuncen karena ia merupakan pengemban amanat leluhur, sehingga apa yang ia ucapkan akan dipatuhi termasuk larangan untuk tidak membicarakan sejarah, asal usul Kampung Naga dan tradisi pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu.
Foto bersama
                                      
 
        Sanksi Dalam Penerapan Hukum Adat di Kampung Naga
Perbuatan melanggar hukum adat menimbulkan reaksi tertentu yaitu suatu kewajiban yang di bebankan kepada orang yan menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan atau orang yang menyerang diri atau barang kepunyaan orang lain kewjiban itu dapat berupa harus membayar kembali dengan uang atau dengan barang suatu kerugian yang telah di timbulkannya, atau berupa kewajiban untuk melakukan suatu upacara dan kalau yang di bebankan berupa harus melakukan suatu upacara dalam upacara itu pelanggar harus menyatakan minta maaf kepada pihak yang kepentingannya telah di langgar maksudnya ialah untuk mengembalikan keseimbangan yang sudah terganggu kedalam keadaan semula.
Dalam menjalankan aturan adat “pamali” di Kampung Naga, masyarakat disana sangat taat dan patuh pada aturan yang telah turun temurun dari para leluhur. Namun, para tokoh masyarakat di Kampung Naga tetap memiliki sanksi bagi para masyarakat yang melanggar pamali yang telah ditetapkan. Bila salah satu masyarakat Kampung Naga ada yang melanggar salah satu adat “pamali” (yang dilarang) seperti upacara menyepi/ hari tabu, upacara perkawinan, upacara hajat sasih, maka tindakan yang dilakukan oleh Kuncen adalah yang pertama menegurnya, dan yang kedua memberikan surat yang isinya menyurus keluar/pindah dari Kampung Naga untuk selama-lamanya dan sampai kapanpun tidak bisa mengikuti upacara adat Kampung Naga.

Thanks to kelompok 8 "Wahyu, Rifa, Fetty, Adink, Nurul"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar