Total Tayangan Halaman

Selasa, 28 Juni 2011

RITUAL MENANAM PADI MASYARAKAT BANJAR DAN ORANG MERATUS


Oleh: Bajuri Suhendar
PENDAHULUAN
Kalimantan Selatan merupakan salah satu provinsi Indonesia yang berada di pulau Kalimantan bagian selatan atau yang biasa disebut orang Barat dengan pulau Borneo. Dengan ibukota Banjarmasin, Kalimantan Selatan sendiri terdapat banyak suku yang tinggal di daerah tersebut, sedangkan suku asli yang mendiami wilayah Banjarmasin dan sekitarnya disebut dengan orang Banjar.
            Kata “Banjar” berasal dari kata Bandarmasih, yang berarti kampung Pendukuhan. Suku bangsa Banjar “berintikan pecahan suku bangsa melayu sekitar lebih seribu tahun lalu yang berimigrasi besar-besaran ke kawasan ini, dari Sumatera atau sekitarnya” Daud (1997:25-26). Suku Banjar muncul ketika imigran-imigran Melayu yang datang ke pulau Kalimantan kemudian mendesak orang orang Dayak Bukit hingga ke pegunungan Meratus. Imigran-imigran Melayu yang datang belakangan ini diidentifikasi sebagai kelompok Bukit, Maanyan, Ngaju yang kemudian melebur ke dalam satu kelompok, yang pada akhirnya memunculkan satu suku baru, yaitu Suku Bangsa Banjar.
Suku Dayak Bukit atau orang Meratus yang mendiami wilayah pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran melayu yang datang ke Kalimantan pada gelombang pertama. Kedatangan orang-orang atau para imigran ke pulau Kalimantan diketahui tidak dalam waktu yang sekaligus atau bersamaan, melainkan datang secara berahap yang terbagi ke dalam beberapa gelombang. Orang Meratus “mendiami pegunungan Meratus yang memanjang  dari selatan sampai ke utara kawasan tengah provinsi Kalimantan Selatan merupakan peladang berpindah yang handal” (Rafieq dan Saderi).
Dalam makalah ini, penulis berusaha menjelaskan mengenai perbedaaan ritual menanam padi yang dilakukan masyarakat Banjar dengan masyarakat Meratus yang sama-sama mendiami wilayah Kalimantan Selatan. 
Kegiatan Ritual Menanam Padi Masyarakat Banjar

Ritual menanam padi pada masyarakat Banjar dilakukan dengan tujuan kegiatan menanam padi atau dalam pertanian mereka akan membuahkan hasil yang diharapkan atau terhindar dari hal-ha yang berbahaya.  Secara umum (Daud, 1997:438), pertanian padi melalui proses-proses yaitu:
1.      Penyemaian bibit dengan berbagai teknik,
2.      Penanaman sementara anak padi.
3.      Penanaman terakhir,
4.      Pemanenan dan kegiatan sesudahnya.
Ketika bibit-bibit padi akan disemai “dirabun”, yaitu diasapi di atas api perapen dengan asap menyan sambil mengucapkan “kur sumangat” berkali-kali, kemudian ketika padi dimasukkan ke dalam air dibacakan Surah Fatihah satu kali dan shalawat tiga kali. Teknik menyemai dengan manaradak yaitu setiap kali memasukkan bibit-bibit padi ke dalam lubang tugal dipesankan kepada semangat bibit padi yang sedang dipelas untuk berlayar agar selama dalam perjalanan tidak bersinggah-singgah. Hal tersebut terus dilakukan sampai kepada lubang atau yang biasa disebut dengan umang yang ketujuh. Ketika akan memulai manaradak,  biasanya diadakan selamatan dengan menyiapkan kokoleh dan kemudian dibacakan doa selamat.
Kegiatan menanam padi dilakukan sejak menanam anak padi yang terakhir di sawah. Kegiatan bamula yaitu memulai menanam padi dimulai dengan mengadakan selamatan dengan menyiapkan kokoleh yang kemudian dimakan bersama-sama di tengah sawah. Ketika akan menanami lubang pertama, terlebih dahulu membaca syahadat, bamamang, membaca Ayat Kursi. Hal tersebut terus dilakukan hingga lubang yang terakhir, yaitu lubang yang di tengah. Setelah kegiatan ini selesai dilakukan, barulah kokoleh dihidangkan dan dimakan bersama-sama. Selanjutnya kegiatan menanam sawah dilakukan sampai selesai. Hari yang dipilih untuk kegiatan bamula  ini adalah hari minggu atau rabu, sedangkan hari yang dihindari adalah hari selasa dan sabtu. Apabila padi  mulai berbunga atau maurai, petani akan mengelilingi sawah sambil memercikkan minyak likat boboreh yang dicampur dengan kembang melati, kemudian dilanjutkan melaksanakan selamatan di rumah dengan menghidangkan bubur baayak.
Sebelum padi diketam, dilakukan pula upacara bamula, yaitu dengan meminta bantuan orang yang dipandang “ahli” yang dilaksanakan pada sore hari. Upacara bamula dimulai dengan berdiri ditengah-tengah sawah dan mengucapkan mamangan ditengah asap upat (suluh yang terbuat dari kulit bunga kelapa yang sudah kering dan dipilah-pilah). Isi dari mamangan sendiri adalah member salam kepada semangat padi dan membujuknya agar berkumpul. Setelah meletakkan upat dipinggir sawah, pelaksana upacara berkeliling sambil menepung tawari (sambil mengucapkan shalawat dengan suara nyaring) rumpun-rumpun padi dengan minyak likat boboreh yang dicampur dengan parutan kencur. Upat dibiarkan menjadi api unggun di salah satu sudut dan dibuat lagi tiga api unggun pada ketiga sudut lain sebelum meninggalkan sawah yang terbuat dari sabut kelapa (Daud, 1997).
Besok paginya dilakukan persiapan penyambutan padi “laki bini” yang akan diketam pada waktu bamula, dengan menyiapkan sebuah talam yang dilapis dengan kain yang bagus, berisi sebuah cermin, celak mata, bedak, minyak kelapa, menyan, peralatan tepung tawar, daun ribu-ribu, dan daun jibung-jibung. Ketika memulai menuai padi yaitu padi yang pertama kali dituai adalah padi “laki bini” yang kemudian disusul dengan tangkai padi yang lain sampai berjumlah tujuh tangkai sambil membaca syahadat dan Ayat Kursi. Sebagian petani akan melakukan panen secara besar-besaran pada hari keempat setelah upacara tersebut.
Setelah diketam, sebagian padi kemudian diolah menjadi bubur yang akan dihidangkan ketika acara selamatan “mahanyari banih”. Jika padi sudah rapi  di dalam lumbung yang terletak di salah satu sudut rumah, diadakan upacara menepung tawari padi tersebut (Daud, 1997:445).
   
Kegiatan Ritual Menanam Padi Masyarakat Meratus
Balai Malaris
Sistem bercocok tanam berupa perladangan berpindah dan menanam padi bagi Orang Bukit dipercayai lebih utama dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan pekerjaan lainnya, seperti berkebun karet dan kayu manis, atau meramu hasil hutan. Berladang menanam padi (bahuma) diyakini sebagai pekerjaan Orang Langit, sebaliknya pekerjaan lain tersebut sebagai pekerjaan Orang Bumi. Bersawah dan berkebun adalah pekerjaan-pekerjaan yang bukan berasal dari adat nenek moyang. Karena itu, tidaklah melanggar adat bila pekerjaan itu tidak dilakukan (Radam, 2001:322-323).
Ladang Orang Meratus
Menurut orang Meratus, padi adalah tanaman suci yang turun dari surga yang dibawa Nabi Adam dan Siti Hawa. Dalam memulai waktu bercocok tanam, orang Meratus berpedoman pada bintang yang biasa disebut dengan “bintang karantika” yang dianggap sebagai jelmaan dari anak Nabi Adam.  Tahap perladangan orang Meratus sendiri dimulai dengan mencari lahan di hutan yang cocok untuk ditanami dengan melihat tingkat kesuburan tanah dari hitamnya warna tanah tersebut atau tanah yang babarkat. Setelah ditemukan lahan yang sesuai, dilakukan upacara puja puji bagi Pidara Datu Nini (arwah nenek moyang), penguasa hutan, atau roh dan kekuatan lainnya yang ada pada calon ladang yang dipimpin oleh tetuha bubuhan (yang biasanya merangkap balian).
Balai Malaris Tampak Dari Depan
Upacara selanjutnya adalah Memuja Tampa, yaitu upacara untuk membuat atau mempertajam kembali peralatan pertanian utama, yaitu parang dan belaying yang akan digunakan dalam bercocok tanam. Si pandai besi mengucapkan puja-puja bagi Pidara Datu Nini atau arwah nenek moyang mereka. Sebelum melakukan penebangan pohon di lahan yang akan ditanami, orang Meratus melaksanakan upacara batilah, agar tidak membawa mudarat bagi petani atau umbun yang bersangkutan. Ritual dilanjutkan dengan Katuan atau Merendahkan Balai Diyang Sanyawa, yaitu upacara di bawah pohon yang terbesar dan yang tertinggi yang tumbuh di lahan yang akan ditanami yang dianggap sebagai pohon tertua dan sebagai tempat tinggal roh yang menguasai kawasan itu. Upacara ini dilakukan untuk mohon ijin atau ‘mengusir’ secara baik-baik roh atau penguasa setempat karena tempat itu akan dibuat ladang.Umbun kemudian mulai manambas semak yang ada di ladang dan mulai menebang pohon. Setelah pohon-pohon yang ada di ladang ditebang, kemudian malaring, yaitu mengeringkan sisa batang pohon dan upacara ini sekaligus menandai berakhirnya persiapan ladang yang akan ditanami.
Bamula, merupakan upacara memulai penanaman padi setelah daun-daun dan ranting sudah dibakar habis dan sudah dibersihkan. Semua anggota umbun dan kerabat dekat menghadiri upacara ini dengan berpakaian lebih bagus dari hari-hari biasa seperti halnya jika akan menghadiri upacara perkawinan. Penanaman padi bagi Orang Bukit juga digambarkan sebagai “mengantar diyang berlayar” atau “mengantar diyang mencari jodoh”. Usai upacara, dilanjutkan dengan penanaman padi ke seluruh ladang. Setelah padi ditanam, yaitu pada saat padi mulai bunting, ritual yang dilakukan adalah basambu umang. Upacara menyembuhkan atau merawat padi, agar padi tumbuh subur, baik, dan berisi.
Ritual dilanjutkan dengan Manyindat Padi, yaitu upacara mengikat rumpun dan tangkai padi sebagai tanda awal menuai padi. Upacara ini bermakna persiapan menjemput diyang. Pengikatan tersebut berfungsi untuk melindungi padi yang sedang masak berisi dari gangguan hantu angin dan hantu tanah. Bentuk ikatan itu diyakini dapat memperdaya dan menghalau Raja Orang Halus atau Anggau, sehingga padi tidak kehilangan harakat. Setelah padi mulai berat berisi, dilakukan upacara Manatapakan Tihang Babuah atau menegakkan tiang buah. Hal ini dilakukan agar padi tidak roboh karena berat. Dalam rangka upacara ini terdapat 5-7 hari masa berpantang yang biasanya diisi dengan membuat bakul pengangkut padi dan memperbaiki atau membuat lumbung.
Bawanang merupakan Upacara memperoleh atau mencapai kawanangan (kebebasan dari pantangan atau pemali) padi yang baru dituai. Padi yang belum wanang belum boleh untuk diolah menurut. Hanya padi yang sudah wanang yang boleh ditumbuk menjadi beras, ditanak atau ditukar dengan benda keperluan hidup lainnya. Upacara kemudian dilanjutkan dengan Mamisit Padi, yaitu upacara memasukkan atau mempersatukan padi yang telah wanang ke dalam lumbung. Dalam bahasa ritualnya kegiatan itu dinamakan “menaikkan diyang ke dalam balai peristirahatan”. Setelah musim panen raya tiba, masyarakat Meratus mengadakan acara yang dinamakan Aruh Ganal,  sebagai upacara syukuran atas hasil panen yang melimpah dan menjauhkan mereka dari bencana gagal panen. Melalui ritual inilah, mereka juga memohon kepada Sang Pencipta agar di musim tanam berikutnya, tanaman mereka terhindar dari hama penyakit dan memperoleh hasil panen yang melimpah.

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas mengenai kegiatan ritual orang Banjar dan orang Meratus, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum terdapat kesamaan antara cara menanam padi yang dilakukan masyarakat banjar dengan cara menanam padi yang dilakukan masyarakat Meratus, dimulai dari penyemaian bibit sampai dengan panen. Begitu pula ritual-ritual yang dilaksanakan dalam bercocok tanam yang sama-sama meminta kepada yang Maha Kuasa agar diberikan hasil panen yang melimpah dan terhindar dari mara bahaya. Persamaan lain adalah bahwa masyarakat Banjar dan Orang Meratus sama-sama menganggap padi adalah sebagi tanaman yang suci dan sakral. Letak perbedaan ritual menanam padi antara masyarakat Banjar dengan Orang Meratus terletak pada isi ritualnya. Masyarakat Banjar melakukan ritual dengan sentuhan-sentuhan Islam seperti pembacaan Surah Fatihah, sedangkan orang Meratus melakukan ritual sesuai dengan adat para leluhur mereka.



DAFTAR PUSTAKA

Daud, Alfani, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta : Rajagrafindo  Persada.
Koenjaraningrat, 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
LK3 Banjarmasin, 2006. “Konflik dan Adat Badamai”. Jurnal Kebudayaan KANDIL Melintas Tradisi, Edisi 13.
Narwoko, J Dwi & Bagong Suyanto, 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.
Radam, Noerid Haloei, 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta.
Riwut, Tjilik, 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta:
PT.Tiara Wacana.
Saderi, Danu Ismadi, Achmad Rafieq,  2008. “ Perubahan dalam Sistem Hidup Orang  tamburasak Desa haruyan Dayak kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan”. Makalah pada Intrnational Symposium of Jurnal Antropologi 2008, Banjarmasin.
(www.wikipedia.org, diakses Juni 2011).



Konstruksi Hukum Adat di Kampung Naga

        Letak dan Perhubungan
Tugu Kujang
Kampung Naga adalah salah satu kampung yang ada di Tasikmalaya yang masih memegang teguh adat-istiadatnya, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung Naga adalah sebuah kampung kecil yang luasnya sekitar 1,5 Ha berada di lembah yang di kelilingi tebing-tebing. Kampung Naga sendiri memiliki batas-batas yaitu: sebelah timur berbatasan dengan Leuweng Biuk dan sungai Ciwulan, sebelah barat berbatasan dengan Leuweng Larangan, sebelah selatan berbatasan dengan sawah, dan si sebelah utara berbatasan dengan sungai Ciwulan.
Sunda;sengked
Untuk dapat sampai ke Kampung Naga dapat dilakukan dengan transportasi darat, jarak dari Bandung ke Kampung Naga memakan waktu sekitar 3 jam, sedangkan dari Tasikmalaya hanya sekitar 30 kilometer. Perjalanan dari tempat parkir kendaraan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni anak tangga atau dalam bahasa setempat (Sunda;sengked) sepanjang kurang lebih 500 meter dengan kemiringan 45 derajat yang kemudian menyusuri jalan setapak sepanjang sungai Ciwulan. Selama perjalanan menuruni anak tangga, terhampar pemandangan persawahan dan rimbunnya pepohonan yang masih sangat asri.

Saat memasuki ke Kampung Naga, pengunjung akan melihat sebuah halaman yang cukup luas yang biasanya pada waktu panen digunakan sebagai tempat menjemur padi. Di depan halaman tersebut terdapat sebuah masjid dan balai pertemuan, kemudian pada sisi kiri dan kanannya terdapat rumah-rumah penduduk Kampung Naga.
Bangunan rumah di kampung Naga sendiri sama dan memiliki bentuk yang sangat khas dan memiliki model panggung. Atap bangunan terbuat dari dua lapis, yaitu lapis pertama berasal dari daun alang-alang dan lapis kedua atau lapisan terluar terbuat dari ijuk yang berwarna hitam. Lapisan ini dapat bermanfaat dalam penyerapan hawa panas ataupun dingin, selain menyerap asap kompor saat memasak. Sedangkan dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang dicat berwarna putih, pemilihan warna putih ini lebih dikarenakan agar dapat menyerap sinar matahari dan membuat suhu di dalam rumah menjadi lebih sejuk meskipun tanpa kipas anging dan AC. Semua bangunan rumah yang ada di Kampung Naga tersusun dengan sangat rapi, yaitu dengan pola menghadap ke arah utara dan selatan.
         Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat di Kampung Naga adalah bertani, hal ini dapat dilihat disekitar kampung Naga banyak dijumpai hamparan persawahan. Panen di kampung Naga sendiri dilaksanakan setahun 2 kali. Selain bertani, mereka juga membuat kerajinan yang akan dijual kepada para pengunjung, dan beternak kambing.
Sebagai penduduk yang mayoritasnya bekerja sebagai petani, cara-cara penggunaan dan pengelolaannya pun masih dilakukan dengan cara-cara yang tradisional pula. Seperti penggunaan pupuk, warga di Kampung Naga lebih suka memakai pupuk kandang dari kotoran sapi maupun kambing yang mereka pelihara daripada menggunakan pupuk urea maupun pupuk yang mengandung bahan kimia lain. Penggunaan pupuk yang mengandung bahan kimia dikhawatirkan akan merusak produktivitas tanah dan mereka tidak menyesal walaupun dengan menggunakan pupuk kandang panen hanya terjadi dua kali dalam setahun. Demikian juga dalam hal pembajakan sawah, mereka lebih suka menggunakan kerbau untuk membajak sawah daripada menggunakan traktor meskipun memakan waktu dan tenaga yang agak lebih lama. Meskipun masih menggunakan cara-cara yang tradisional dalam pengerjaannya, tetapi padi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat bagus dan hal ini juga sebagai penunjukkan rasa hormat warga kampung Naga kepada alamnya.
Selain bekerja sebagai petani, warga di kampung Naga juga ada beberapa yang pergi merantau ke kota untuk bekerja seperti ke Jakarta. Mereka biasanya akan kembali ke kampung Naga setelah merantau beberapa tahun atau ketika perayaan hari-hari besar di kampung Naga seperti Hari Raya Idul Fitri dan Upacara Hajat Sasih. 

         Kepemimpinan Kepala Desa
Di kampung Naga sendiri memiliki dua kepemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal berdasarkan pemilihan rakyat dan disahkan oleh pemerintah yaitu ketua RT dan ketua RW.  Sedangkan kepemimpinan informal yaitu kepala adat atau yang biasa disebut dengan “kuncen” yang bertugas sebagai pemangku adat dan pemimpin upacara-upacara adat. Kuncen adalah seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas dan dipandang sebagai pengemban amanat leluhur kampung Naga sehingga perkataan dan nasihatnya selalu dipatuhi oleh warga kampung. Saat ini kuncen kampung Naga dijabat oleh Bapak Ade Suherlin. Dibawah kuncen, ada para pejabat adat yang membantu kuncen dalam menjalankan tugasnya, yaitu “Punduh” yang dijabat oleh Bapak Ma’mun yang mengurus dan menjadi pengayom segala kegiatan kegiatan kemasyarakatan dan ”Lebeh” yang dijabat oleh Bapak Ateng yang bertugas dalam masalah keagamaan seperti mengurus jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat Islam.
Dua kepemimpinan yang ada di Kampung Naga ini saling berhubungan dan saling melengkapi.  Di satu sisi ketua RT dan RW mengurus dan mengatur sistem pemerintahan seperti birokrasi publik, dan yang lainnya yang harus dipatuhi oleh seluruh warga, tanpa terkecuali Kuncen. Dan di sisi lain seluruh warga kampung Naga termasuk pejabat pemerintahan dalam hal ini ketua RT dan RW juga harus patuh pada hukum adat dan peraturan-peraturan yang telah dijalankan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga sendiri, pemimpin menduduki posisi yang penting, oleh karena ia dianggap orang serba tahu dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat adat. Sehingga segala tindak-tanduknya merupakan pola aturan patut diteladani oleh masyarakat. Mengingat kedudukan yang penting itulah pemimpin adat senantiasa dituntut berpartisipasi dalam pembinaan kesadaran hukum masyarakat adat.

 
        Aturan-Aturan Yang Diatur Oleh Hukum Adat di Kampung Naga
Jalan diantara rumah penduduk
Peraturan-peraturan adat yang berlaku di kampung Naga meliputi segala aspek kehidupan masyarakatnya dari “A” sampai “Z”, mulai dari cara membangun rumah, tata cara perkawinan, dan masih banyak lagi peraturan adat yang ada di kampung Naga dari hal-hal yang kecil sampai kepada hal yang besar. Hal-hal yang kecil dapat dicontohkan sebagai berikut:
1.      “ Temenang Diuk Dina Bangbaru”
Artinya: Anak gadis tidak boleh duduk di depan pintu.
2.      “ Ngahocat, Suit-suitan”
Artinya : bersiul.
3.      “ Cimalati, Curung Cinantang ”
Artinya : air terjun angker, yang dihuni makhluk halus.
4.      “ Temenang Ngelonjor Kakulon "
Artinya : tidak boleh duduk berselonjor kearah kiblat (barat).
5.      “ Leweng Karamat “
Artinya : Jiarah ke makam pada hari selasa, rabu, dan sabtu.
6.      “ Leweng Ketupan “
Artinya : berkunjung ke hutan lindung.
7.      “ Bumi Ageng “
Artinya : tempat upacara adat.
8.      “ Pego dan tabu tentang asal usul kampung”
Artinya : bisu sementara menjelaskan tentang asal usul kampung pada hari selasa, rabu, dan sabtu.
9.      “ Sawen “
Artinya : Tolak Bala
10.  “ Ngadu, Ngahadon, Mabokan “
Artinya : adu domba, main perempuan, dan narkoba.

Untuk hal yang besar seperti upacara adat, seperti tradisi MENYEPI, yaitu usaha menghindari pembicaraan hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat yang biasanya dilaksanakan pada hari selasa, rabu, dan sabtu. UPACARA HAJAT SASIH, merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam leluhur yang dilaksanakan oleh seluruh warga kampung Naga baik yang tinggal di dalam kampung maupun yang berada diluar kampung Naga itu sendiri. Upacara Hajat Sasih dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari besar Islam seperti hari Raya Idul Fitri. Warga kampung Naga juga dilarang untuk menebang pohon atau merusak hutan yang ada di sekitar kampung Naga, karena hutan disekitar kampung Naga tersebut dianggap sebagai hutan keramat yang tidak boleh diganggu keberadaannya, walaupun hanya mematah ranting apalagi sampai menebangnya. Selain itu warga dan pendatang juga dilarang untuk mandi di dua buah air terjun yang di anggap sebagai tempat keramat karena biasanya air terjun tersebut kadang digunakan sebagai tempat bersemedi atau dimana di yakini oleh warga kampung naga sebagai air terjun yang memiliki fungsi untuk menyembuhkan penyakit namun air tersebut tidak boleh diambil warga secara sembarangan hanya apabila warga tersebut mendapatkan mimpi bahwa cara penyembuhannya dengan mengambil air dari salah satu air terjun tersebutbarulah di perbolehkan itupun harus meminta izin terlebih dahulu kepada kepala adat atau juru kuncinya serta ada hal yang harus di patuhi pada saat mengambil air terjun tersebut yakni hanya sebelah kaki yang harus menginjaknya dan harus memakai kaki sebelah kanan.
 
        Pelaksanaan Hukum Adat di Kampung Naga
Dalam pelaksanaan hukum adat pada masyarakat Kampung Naga, mereka sangat mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan. Ketaatan mereka tersebut sangat kuat dan patuh, yang dapat dilihat dari pelaksanaan kehidupan sehari-hari di lingkungan mereka yang masih menerapkan tabu atau pamali. Hanya dengan kata “PAMALI” masyarakat kampung Naga dapat hidup dengan nilai-nilai tradisional dan terjaga kelestarian lingkungannya. Pamali merupakan tradisi lisan dari masyarakat Sunda, yaitu berhubungan dengan hal-hal yang tabu atau hal yang tidak baik untuk dilakukan. Larangan-larangan yang ada di kampung Naga berasal dari  aturan-aturan nenek moyang mereka terdahulu. Aturan-aturan yang ada di kampung Naga sendiri hanya disampaikan secara lisan kepada warganya, tidak ada aturan adat yang dibukukan atau dikumpulkan secara tertulis, dan hal ini disampaikan secara turun-temurun. Seorang anak di kampung Naga sejak kecil sudah diajari mengenai hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan, sehingga sejak kecil mereka sudah tertanam nilai-nilai luhur dari nenek moyang mereka sehingga hal tersebut dapat bertahan sampai sekarang. Meskipun tidak ada peraturan secara tertulis, tetapi bagi warga di kampung Naga mentaati peraturan-peraturan tersebut adalah suatu keharusan dan menganggap bahwa peraturan tersebut adalah sesuatu yang sakral dan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Pelaksanaan aturan pamali tersebut dimulai oleh tokoh masyarakat dalam membina warganya dengan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari, dan memberikan sanksi  kepada anggota masyarakat secara bertahap. Tokoh masyarakat yang dimaksud adalah berawal dari pemimpin Kampung Naga yang dipilih melalui ketentuan adat yaitu kuncen. Sebagai seorang yang dituakan perkataan kuncen sangat didengar dan dipatuhi oleh masyarakat Kampung Naga. Kuncen memiliki hak khusus dalam menerima tamu dan member petunjuk-petunjuk khusus dalam kehidupan adat-istiadat di Kampung Naga.
Kepatuhan masyarakat pada kuncen karena ia merupakan pengemban amanat leluhur, sehingga apa yang ia ucapkan akan dipatuhi termasuk larangan untuk tidak membicarakan sejarah, asal usul Kampung Naga dan tradisi pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu.
Foto bersama
                                      
 
        Sanksi Dalam Penerapan Hukum Adat di Kampung Naga
Perbuatan melanggar hukum adat menimbulkan reaksi tertentu yaitu suatu kewajiban yang di bebankan kepada orang yan menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan atau orang yang menyerang diri atau barang kepunyaan orang lain kewjiban itu dapat berupa harus membayar kembali dengan uang atau dengan barang suatu kerugian yang telah di timbulkannya, atau berupa kewajiban untuk melakukan suatu upacara dan kalau yang di bebankan berupa harus melakukan suatu upacara dalam upacara itu pelanggar harus menyatakan minta maaf kepada pihak yang kepentingannya telah di langgar maksudnya ialah untuk mengembalikan keseimbangan yang sudah terganggu kedalam keadaan semula.
Dalam menjalankan aturan adat “pamali” di Kampung Naga, masyarakat disana sangat taat dan patuh pada aturan yang telah turun temurun dari para leluhur. Namun, para tokoh masyarakat di Kampung Naga tetap memiliki sanksi bagi para masyarakat yang melanggar pamali yang telah ditetapkan. Bila salah satu masyarakat Kampung Naga ada yang melanggar salah satu adat “pamali” (yang dilarang) seperti upacara menyepi/ hari tabu, upacara perkawinan, upacara hajat sasih, maka tindakan yang dilakukan oleh Kuncen adalah yang pertama menegurnya, dan yang kedua memberikan surat yang isinya menyurus keluar/pindah dari Kampung Naga untuk selama-lamanya dan sampai kapanpun tidak bisa mengikuti upacara adat Kampung Naga.

Thanks to kelompok 8 "Wahyu, Rifa, Fetty, Adink, Nurul"


Senin, 27 Juni 2011


Daftar Peserta Remedi Teori Sosiologi Modern



no nama nim

Nani Hariyanti AIA408201

Mahajir Muhammad AIA408208

Jurida Rahmi AIA408217

Tri Hardika AIA408218

Nor Amelia Rahman AIA408220

Muhammad Azhar Maulani AIA408221

Fatimah AIA408223

Rifatul Marfuah AIA408227

Novina Indriyani AIA408229

Istiqomah AIA408232

Dewi Mariani AIA408233

Taufiq AIA408235

Marliani AIA408239

Ainun Rasyidah AIA408241

Farida Widyastuti AIA408242

Teriani AIA408245

Novi Haitami AIA408247

Edi Mariono AIA408250

Yuniartini AIA408253

Bahrul Elmi A1A407211

Dwi Wulandari Siar A1A407215

Nurul Hikmah A1A407220

Neni Widiyayanti A1A407238

Abdi Syahbana A1A407243

Novi Ruliana A1A406205

Raudatul Sa'dah A1A406252